Can’t Keep This Promise For You

Can’t Keep This Promise for You

 

“Kikwang-ah, apa tidak mengapa kita bersembunyi di sini?”

“Jangan khawatir, mereka tidak akan menemukan kita!”

“Sungguh?”

“Percaya padaku!”

Aku memandang wajah teman sekelasku itu. Kami berdua sedang bersembunyi di perpustakaan, menghindari guru piket. Aku dan Kikwang adalah teman dekat. Dimana ada Kikwang, disitu pasti ada aku. Begitu pula sebaliknya. Sebenarnya aku sudah lama menyukai Kikwang, dan ketika kami harus bersembunyi bersama seperti ini, dadaku pasti akan berdegup kencang sekali.

“Minji-ya, kau tunggu di sini! Aku akan mengalihkan perhatian guru piket!”

“Cepat kembali, ya?”

“Pasti. Tunggu aku!”

Satu jam sudah Kikwang meninggalkanku di sini. Apa aku harus mencarinya? Tetapi, dia menyuruhku menunggunya. Kikwang bisa marah jika aku mengingkari janjiku. Meskipun dia masih kecil, dia selalu menepati janjinya dan marah apabila ada yang mengingkari janji. Mungkin, jika dia sudah besar, dia akan menjadi seorang pemimpin yang andal.

Kuputuskan untuk menunggunya di sini, sampai dia datang!

 

***

 

“Minji-ya! Bangun! Kau tertidur?”

Aku merasakan seseorang mengguncang-guncangkan tubuhku. Aku membuka mataku perlahan. “Kikwang… Kau sudah kembali?”

“Jangan katakan kau menungguku di sini sampai tertidur!”

Aku mengusap mataku yang masih mengantuk. “Aku memang menunggumu, Kikwang….”

“Ya Tuhan! Minji, maafkan aku. Ayo keluar dari sini! Ini sudah malam!” Kikwang menarik tanganku. “Ayo, Minji!”

“Sudah malam?” tanyaku sedikit terkejut. “Ouh… Pantas saja badanku sakit semua…” aku mengusap lenganku. Sudah berapa lama aku tertidur? 2 jam? Kurasa lebih. Aku merasakan kakiku kram. Kikwang sepertinya mengetahuinya. Dia langsung menggendongku.

“Kali lain, jika aku belum kembali, kau pergi saja!” katanya ketus.

“Aku takut kau memarahiku…”

“Tapi tidak harus menungguku selama itu! Untung saja aku pergi ke perpustakaan dulu, jika tidak? Mungkin malam ini kau akan menginap di sekolah!”

Aku mendengus kesal. “Baiklah, baiklah. Tetapi mengapa kau lama sekali?”

Kikwang terdiam. “Aku, ada sesuatu yang harus ku kerjakan.”

“Kau tertangkap guru piket?” aku bertanya perlahan. Kikwang memelankan langkahnya. Beberapa saat kemudian dia mengangguk.

“Ya Tuhan! Pantas saja ada luka di lehermu! Guru piket melakukan apa, Kikwang? Kau baik-baik saja? Aku bisa berjalan sendiri jika kau terluka! Turunkan aku!”

“Tidak, aku baik-baik saja. Hanya luka kecil.”

“Tapi…”

“Sudahlah! Aku akan menggendongmu sampai rumah sebagai permintaan maaf!”

Beberapa menit kemudian kami saling diam. Sebenarnya aku tidak tega melihat Kikwang menggendongku dalam keadaan terluka. Aku tahu seperti apa guru piket itu. Tetapi mengapa Kikwang keras kepala sekali? Tidakkah dia tahu aku mengkhawatirkannya?

Akhirnya kami sampai juga di depan rumahku. Kikwang menurunkanku perlahan. “Hati-hati!” katanya. “Apa perlu aku mengatakan pada Omma mengapa kau pulang terlambat?”

Aku menggeleng. “Tidak. Kau cepatlah pulang, obati lukamu!”

Dia tersenyum tipis. “Masuklah!”

Aku menggeleng. “Kau saja pulang dulu!”

“Kau dulu, Minji!”

“Tidak!”

Tiba-tiba Kikwang mendekatiku, dan mengecup pipiku. “Cepat masuk! Dan mulai sekarang kau pacarku!”

Eh?

***

Aku takut bertemu Kikwang hari ini. Aku takut, dia akan tiba-tiba duduk di sebelahku dan berkata ‘lupakan perkataanku tadi malam, Minji. Aku hanya bercanda.’

Dan benar saja. Sesaat setelah aku duduk, Kikwang menghampiriku. “Minji, ini…” katanya, sambil menyerahkan sesuatu.

Aku mengangguk, tanpa melihat ke arahnya. “Terimakasih.” Tiba-tiba dia duduk di sebelahku.

“Hei! Mengapa kau masih di sini?”

“Aku menunggumu membukanya.” Dia diam sejenak. “Kau tahu, susah sekali ternyata membuat surat cinta itu! Jadi ku putuskan untuk meminta Haneun Noona untuk membuatkannya. Kekeke~”

Aku tersenyum tipis. Sudah ku duga bukan dia yang menulis ini. Kikwang bukanlah orang yang romantis!

Hari-hari yang kami lalui berjalan seperti biasa. Kikwang akan mengantarkanku pulang, sebelum tidur dia akan meneleponku mengucapkan selamat malam, di sekolah kami akan pergi ke kantin bersama, tidak ada yang istimewa.

Suatu hari ketika Kikwang mengantarkanku pulang, dia terlihat berbeda. Seperti ada sesuatu yang disembunyikannya dariku.

“Kau kenapa, Kikwang? Apa kau sakit?”

“Tidak. Minji, boleh aku menanyakan sesuatu?”

“Apa?”

“Apa perlu aku mengatakan ‘aku mencintaimu’? Aku mendengar Haneun Noona selalu mengatakan itu kepada pacarnya.”

Aku terkejut. “Me…menurutku… kau tidak perlu mengatakan itu, Kikwang.”

Dia tersenyum tipis. “Aku tahu. Masuklah.”

Aku tidak mengira malam itu adalah malam terakhirku bertemu Kikwang. Keesokan harinya dia tidak datang ke sekolah. Guru mengatakan dia pindah ke Jepang. Baru aku menyadari mengapa sikapnya berbeda tadi malam.

Di tanganku telah ada surat dari Kikwang. Aku membukanya perlahan.

Untuk Minji,

Ini adalah surat cinta yang kutulis sendiri pertama kalinya. Semoga kau menyukainya.

Maafkan aku tidak mengatakannya langsung kepadamu, karena aku tidak bisa. Aku benci mengucapkan kata selamat tinggal.

Hari ini aku pindah ke Jepang, bersama Haneun Noona.

Tunggu aku, Minji. Aku pasti akan kembali. Tidak akan lama.

Tadi malam, sebenarnya aku ingin kau menjawab mengatakan ‘aku mencintaimu’ itu perlu. Tetapi karena kau mengatakan tidak perlu, maka aku tidak mengatakannya langsung kepadamu.

Aku mencintaimu.

Kikwang.

 

***

 

7 tahun kemudian…

“Tidak, Minji. Jangan memaksaku!”

“Oppa, ayolah… Kita sudah lama tidak berlibur ke Jepang!”

“Tetapi aku tidak sedang libur, Minji.”

“Oppa! Tega sekali kau membuat tunanganmu ini bersedih…”

“Maaf, tetapi memang tidak bisa. Kali lain aku pasti akan mengajakmu ke Jepang selama satu bulan. Aku berjanji!”

Klik. Aku mematikan telepon.

Selalu saja begitu. Rui Oppa selalu saja mementingkan pekerjaannya dibandingkan aku, tunangannya. Padahal apa susahnya pergi ke Jepang, tanah airnya sendiri?

Kuputuskan untuk mengirim SMS kepadanya. Oppa, pesawat berangkat pukul 7 malam. Aku akan menunggumu jam 5 di bandara. Jika kau tidak muncul, aku akan pergi ke Jepang sendiri!

Oppa… sesekali kau harus diberi pelajaran!

 

***

 

Aku sudah menunggu Rui Oppa selama satu jam. Aku masih berharap Rui Oppa akan datang beberapa saat lagi. Apa dia tega membiarkanku pergi ke Jepang sendiri?

Kami bertunanagan sejak aku masih duduk di bangku SMA kelas 3. Sebenarnya kami dijodohkan. Dan bisa ditebak, aku menolaknya karena masih menunggu Kikwang kembali padaku. Bodohnya, menunggu cinta pertamamu kembali. Entah mengapa aku yakin bahwa dia akan kembali padaku!

Tetapi akhirnya aku luluh juga oleh perhatian dan kegigihan Rui Oppa. Aku pun bersedia bertunangan dengannya.

Aku menunggu Rui Oppa sambil mendengarkan musik dari iPhone hadiah dari Rui Oppa. Tiba-tiba seseorang datang dan duduk di sebelahku.

“Kau tidak berubah, Minji.”

Aku terkejut. “Maaf?”

“Apa kau sudah melupakanku?”

Ya Tuhan, apakah dia Kikwang?

“Sepertinya memang sudah melupakanku. Apa kabarmu, Minji? Tidak ku duga kita bertemu di bandara.”

“Kikwang?”

“Benar, aku Kikwang.”

“Kau, kembali ke Korea?”

“Aku tidak tahu. Bisa ya, bisa tidak. Tergantung apakah kau mau ikut ke Jepang bersamaku.”

“Maksudmu?”

Kikwang mengeluarkan sesuatu dari celananya. Cincin. “Aku berjanji padamu aku akan kembali.” Kikwang menggenggam tanganku, hendak memakaikan cincin tersebut. “Menikahlah denganku, Minji.”

Belum sampai aku berkata sesuatu, Kikwang tiba-tiba terdiam. Di tanganku telah melingkar cincin pertunanganku dengan Rui Oppa. “Kikwang… Maaf.”

“Kau… Menikah?”

“Bertunangan…”

“Dengan siapa?”

“Dengan seseorang yang dijodohkan oleh appa…”

“Kau menerima pertunangan itu?”

“Aku tidak bisa menolak…”

“Kau tidak berusaha menolaknya?”

“Sudah, Kikwang…”

“Tidak! Kau tidak berusaha menolaknya! Kau tidak benar-benar berusaha, Minji!”

“Kikwang…”

“Kau tidak menungguku…”

“Kikwang, dengarkan aku dulu!”

“Kau tidak mencintaiku…”

“Kikwang!” aku berteriak kesal. “Mengapa pikiranmu sempit sekali? Aku menunggumu, Kikwang! Aku mencintaimu juga! Aku yakin kau akan kembali padaku! Apa kau lupa aku pernah menunggumu sampai tertidur di perpustakaan sekolah? Apa kau lupa aku pernah menunggumu di halte bis sampai aku kehujanan? Apa kau lupa itu semua?

Selama 7 tahun aku terus menunggumu! Tetapi aku lelah, Kikwang. Aku tidak tahu sampai kapan aku harus menunggumu, menunggu janji yang diucapkan seorang anak berumur 14 tahun? Menunggu anak yang meninggalkanku tanpa alasan, dan hanya menyuruhku menunggu dia kembali.

Mengapa kau tidak mengatakan alasan mengapa kau tiba-tiba pindah ke Jepang? Apa kau pikir aku tidak sedih? Aku sangat kehilanganmu, Kikwang!

Suatu hari orangtuaku menjodohkanku dengan Rui Oppa. Aku berusaha mati-matian untuk menolak, berharap kau akan kembali. Tetapi apa? Kau tidak juga kembali ke Korea, dan sekarang kau kembali di saat yang tidak tepat.”

Kikwang terduduk lemas. Dia terlihat tidak siap menerima ini semua.

“Maafkan aku, Kikwang. Aku harus meneruskan hidupku. Aku tidak mau dibayang-bayangi janji seorang anak berumur 14 tahun, meskipun anak itu telah tumbuh dewasa dan sekarang berada di depanku.”

“Maafkah aku tidak memberitahumu alasan yang sebenarnya mengapa aku pergi. Tetapi sekarang aku disini, Minji! Tidak tahukah kau betapa sulitnya kembali ke Korea? Minji, aku mohon… Kembalilah…”

“Maaf, Kikwang. Kau terlambat. Aku tidak bisa.”

“Minji!” teriak seseorang. Aku menoleh. Rui Oppa sedang berlari tergesa-gesa menuju ke arahku dan Kikwang. Dia membawa koper besar.

“Maafkan aku! Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendiri. Aku janji!” Kata Rui Oppa. Nafasnya masih belum teratur.

Aku tersenyum. Akhirnya kau datang juga. “Aku tau kau tidak akan membiarkanku pergi sendirian, Oppa…”

“Oh, temanmu?”

“Ya, namanya Kikwang. Kikwang, ini Rui Oppa, tunanganku…”

“Senang berkenalan denganmu.”

Kikwang hanya menatap Rui Oppa, bergeming.

“Dia orang Jepang.” Kataku.

“Senang bisa bertemu denganmu, Rui.” Akhirnya Kikwang bereaksi juga.

“Ayo, Minji. Pesawat akan berangkat sebentar lagi.”

“Oppa, bisakah kau meninggalkan kami sebentar? Aku akan menyusulmu.”

“Oh, baiklah.” Rui Oppa meninggalkan kami berdua.

“Aku mencintainya, Kikwang. Dia orang yang baik. Dia yang selalu menemaniku. Dia yang selalu ada di dekatku. Dia yang mengorbankan apa pun, termasuk pekerjaannya, demi aku. Maafkan aku, Kikwang. Ku harap kau bisa menerimanya.”

Kikwang menunduk. Beberapa saat kemudian dia tersenyum. “Tidak mengapa, Minji. Seharusnya aku yang meminta maaf kepadamu. Semoga kau bahagia.”

“Terimakasih. Aku harus pergi.”

“Tunggu! Maukah kau menyimpan cincin ini? Aku, aku tidak bisa memberikannya kepada wanita lain.”

Aku mengangguk, menerima cincin dari Kikwang. “Aku akan menyimpannya dengan baik. Selamat tinggal…”

berantakan ya? maaf… jadwal berantakan juga jadi gak sempet publish FF ><

 tetep nantikan dandelion yaa~~~

11 thoughts on “Can’t Keep This Promise For You

  1. Huwaaa sedih bangeeet kikwang ama ∂ķΰ aja deeehhh..‎​;)hє^_^hє;) ..;)hє^_^hє;) .. Ngarep mode on..‎​Hέ:)hέ:)hέ:)Hέ:)hέ:)hέ maaph thor ngelantur..bagus tdk terduga

  2. Yach…emang lelah sich mnunggu org yg kita cintai tak kunjung dtang.. Moga kikwang dapat cwe yg lebih baik dri minji..
    Aku mau koq nerima kmu *plak ditimpuk batu

  3. Huaahh keren thor !! :(
    Yaaa, walaupn sedih akhir”a , hiks knpa minji ga balikan sma kikwang ajah ?

    Haduh aku pkir terakhir’a mreka balikan tau”a kikwang terlambat .. :( huuf , gpp deh hehehe ..
    Ttep seru :D

  4. kereennn~~
    eh sekalian promo yaa ^^ dateng ama baca fanfic disini –> littleajumma.blogspot.com banyak fanfic keren ^^ jangan lupa comentnya juga ^^ ditunggu yaaa~~~

    gomawo~~

  5. Waduh cepet banget, onn
    Ini kisah yg bagus padahal, kalo misalnya dibikin series *ngarepp #plakkk
    Ruinya aduhhhh, aku juga pasti luluh
    Biarpun disodor2in cowok seimut & seganteng kikwang kekekeke~
    Dandelion selalu ditunggu, onn

Leave a reply to Asvianurulhidayatulkamilachaerunissa Cancel reply